Membangun Rumah Sebaiknya Jangan di Tanah Istri

Salah satu kewajiban suami adalah memberikan nafkah untuk istri dan anak-anaknya. Nafkah itu berupa menyediakan tempat tinggal, makanan, dan pakaian. Orang biasa menyebutnya dengan : sandang, papan, dan pangan. Menyediakan tempat tinggal bukan berarti harus mampu membangun atau membeli rumah. Boleh saja jika baru bisa mengontrak.

Dalam menyediakan nafkah tersebut, ada batas minimalnya, yaitu kewajaran di masyarakat sekitar. Misalnya dalam menyediakan makanan. Apabila makanan di masyarakat sekitar adalah nasi, maka hendaknya seorang suami juga berusaha menyediakan nasi. Jangan menyediakan makanan yang secara kualitas dinilai di bawah nasi. Penyediaan rumah juga demikian. Apabila rumah masyarakat sekitar adalah lantai keras dan tembok dengan batu bata, maka suami hendaknya juga menyediakan rumah yang kualitasnya minimal sama. Jangan menyediakan rumah dengan alas tanah, tembok anyaman bambu.

Tidak bisa dipungkiri bahwa menyediakan semua hal tersebut tidak selalu mudah. Banyak keluarga yang belum mampu menyediakan secara ideal. Salah satunya adalah masalah rumah. Maka wajar jika seorang istri membantu suaminya. Misalnya membangun rumah di tanah milik istri yang bisa jadi tanah tersebut didapatkan dari orang tua istri, kemudian suami dengan penghasilannya membangun rumah di atas tanah tersebut.

Apabila kondisi rumah tangga baik-baik saja, hal tersebut tentu tidak akan menimbulkan masalah. Namun kondisi bisa berbeda ketika ada masalah rumah tangga, kemudian pasangan suami istri tersebut ingin bercerai. Kepemilikan rumah bisa menjadi masalah yang ruwet.

Suami istri yang sudah bercerai, maka statusnya kembali menjadi orang asing. Mereka haram untuk hidup bersama dalam satu rumah. Jika rumah tersebut adalah milik suami, maka ketika bercerai, mantan istri bisa kembali ke ayahnya, tidak tinggal di rumah itu lagi. Tapi jika rumah tersebut tanahnya milik istri, sementara bangunan di atasnya milik suami, ini bisa menimbulkan masalah.

Misalnya mantan suami ingin mantan istrinya yang pergi, mantan istri belum tentu mau karena itu adalah tanahnya, itu adalah haknya tinggal di atas tanahnya. Sebaliknya, jika mantan istri ingin mantan suaminya pergi, bisa jadi mantan suami juga tidak mau, karena itu rumah ia bangun dari jerih payahnya.

Apabila mantan istri ingin tetap tinggal di situ, mantan suami mungkin akan menuntut untuk mengganti biaya pembangunan rumah yang jumlahnya bisa jadi tidak sedikit, bisa ratusan juta atau beberapa milyar. Mantan istri belum tentu memiliki uang sebanyak itu.

Oleh karena itu, jika membangun rumah, sebaiknya miliki dulu tanahnya, kemudian baru dibangun rumah di atasnya. Ini sebagai antisipasi apabila terjadi suatu masalah rumah tangga yang berakibat perceraian. Walau demikian, bukan berarti berencana bercerai. Tentu yang diharapkan adalah rumah tangga harmonis, sakinah mawaddah wa rahmah, sampai akhir hayat.

Ditulis oleh : Farid Ma’ruf

Penulis adalah Founder Komunitas BaitiJannati

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *